From where I stand, Aneng Sugiyarti: We live in peace in our diverse community

Date:

Interview by Inggita Notosusanto

FWIS Aneng
Aneng Sugiyarto is a participant in Peace Village program in Tajurhalang village, Depok, West Java, Indonesia. Photo: UN Women/Inggita Notosusanto

English | Bahasa Indonesia

Aneng Sugiyarti, 45, is a mother of two and a resident of Kampung Baru Cina in Tajurhalang Village, Depok in West Java, Indonesia. She is an active participant in the Desa Damai (Peace Village) program, an initiative by the Wahid Foundation supported by UN Women and the Government of the Netherlands. Her village is uniquely diverse, with inhabitants from various ethnic and religious backgrounds, contrasting with the predominantly Muslim Malay population of Depok. Through the Desa Damai program, she has successfully motivated her neighbors of different faiths to join community activities, fostering social engagement and cohesion. One of the program's notable initiatives, Imah Tentrem (Peace House), addresses community issues and ensures that village administrators respond effectively to residents’ concerns. 

My village is home to people from diverse ethnic and religious backgrounds. As the name “Kampung Baru Cina” suggests, a significant portion of the population is of Chinese descent. Among us are Muslims, Confucians (Kong Hu Cu), Buddhists, and Christians. Diversity often leads to conflict and divisiveness in communities. However, despite these differences, we live harmoniously. When there are religious or cultural events, we come together to assist and participate.  

This sense of unity I experienced in my own community inspired me to encourage neighbors from all backgrounds to join the Desa Damai program, which is carried out by the Wahid Foundation with the support of UN Women. I have observed that in other villages there is still deep distrust between people of different faiths and ethnic groups, and it’s important to be proactive in nurturing a peaceful community that respects diversity. 

This year, the Desa Damai program held three meetings focusing on early detection of extremist religious views that could threaten our harmony and on strengthening cooperative initiatives within the community. It also provided us with valuable opportunities to build important skills, such as public speaking. Before joining the program, I was timid and shy, but the training helped me build confidence and find my voice in public settings. After participating in several of Wahid Foundation’s trainings, I have been able to apply what I learned both in my community work and to grow my small business. 

We also established a platform to address pressing community issues, which we named Imah Tentrem (Peaceful House). It is comprised of a group of volunteers who are active participants in the Desa Damai program and operates with support from local village administrators. When we get together, we share the challenges that we face in our daily lives to get both advice and words of comfort from other members. I invited my neighbors who are of Chinese descent to join and be involved in our activities. Together, we’ve successfully resolved various issues through collaboration with village leaders.

FWIS Aneng 2
Aneng in a discussion with her colleague from Peace Village. Photo: UN Women/Inggita Notosusanto

Currently, one of the most pressing challenges in our community is violent student conflicts. I believe we can mitigate these problems by strengthening our early detection practices while continuing to support the village leaders in their patrols and intervention efforts.  

Looking ahead, I hope we can expand our activities to the RW (Rukun Warga) level, spreading the principles and practices of the Desa Damai program to neighboring villages.

The Desa Damai (Peace Village) is a program led by UN Women in partnership with the Wahid Foundation in West Java since 2017, and extended until 2024, supported by the Government of the Netherlands. Implemented in villages in Depok and Bogor, West Java, the program focuses on women’s empowerment and peacebuilding to address conflicts that occur in the communities. 

Aneng Sugiyarti’s work contributes to Sustainable Development Goal (SDG) 5 on gender equality and the empowerment of all women and girls, and SDG 16, which promotes peaceful and inclusive societies. 

 

Pendapat Saya, Aneng Sugiyarti: Kami hidup damai dalam komunitas yang beragam

Tanggal: Selasa, 10 Desember 2024

Interview oleh: Inggita Notosusanto

FWIS Aneng
Aneng Sugiyarti adalah peserta program Desa Damai di Desa Tajurhalang, Depok, West Java, Indonesia. Photo: UN Women/Inggita Notosusanto

English | Bahasa Indonesia

Aneng Sugiyarti, 45 tahun, adalah seorang ibu dari dua anak, dan warga Kampung Baru Cina di Desa Tajurhalang, Depok, Jawa Barat, Indonesia. Ia merupakan peserta aktif dalam program Desa Damai, sebuah inisiatif dari Wahid Foundation yang didukung oleh UN Women dan Pemerintah Belanda. Desanya memiliki keunikan dalam keberagaman, dengan penduduk dari berbagai latar belakang etnis dan agama, yang berbeda dengan mayoritas populasi Melayu Muslim di Depok. Melalui program Desa Damai, ia berhasil memotivasi tetangganya yang berbeda keyakinan untuk ikut serta dalam kegiatan komunitas, terlibat dalam kegiatan sosial dan menjaga kerukunan. Salah satu inisiatif program unggulan, Imah Tentrem (Rumah Damai), yang dirancang untuk menangani isu-isu masyaraka

Desa saya dihuni oleh orang-orang dari berbagai latar belakang etnis dan agama. Seperti namanya, “Kampung Baru Cina,” desa ini dihuni banyak warga keturunan Tionghoa. Di antara kami ada yang beragama Islam, Konghucu, Buddha, dan Kristen. Di tempat lain, perbedaan ini sering kali menjadi pemicu konflik dan perpecahan di masyarakat. Namun di kampung kami, meskipun ada perbedaan ini, kami hidup berdampingan secara harmonis. Ketika ada acara keagamaan atau budaya, kami saling membantu dan turut serta di dalamnya.

Kerukunan yang saya rasakan di komunitas menginspirasi saya untuk mendorong tetangga dari semua latar belakang untuk bergabung dalam program Desa Damai yang dilaksanakan oleh Wahid Foundation dengan dukungan UN Women. Saya melihat bahwa di desa-desa lain masih ada ketidakpercayaan yang mendalam antara orang-orang dari agama dan kelompok etnis yang berbeda, sehingga penting untuk bersikap pro aktif dalam menjaga masyarakat yang damai dan menghormati keberagaman.

Tahun ini, program Desa Damai mengadakan tiga pertemuan yang berfokus pada deteksi dini terhadap pandangan keagamaan ekstrem yang dapat mengancam kerukunan warga dan penguatan inisiatif kerja sama di komunitas. Program ini juga memberikan peluang berharga untuk membekali keterampilan penting seperti berbicara di depan umum. Sebelum bergabung dengan program ini, saya pemalu dan pendiam, tetapi pelatihan ini membantu saya membangun rasa percaya diri dan mendorong saya turut bersuara di forum publik. Setelah mengikuti beberapa pelatihan Wahid Foundation, saya mampu menerapkan apa yang saya pelajari baik dalam kerja komunitas maupun untuk mengembangkan usaha kecil saya.

=Kami juga mendirikan sebuah kelompok untuk menangani isu-isu penting di masyarakat, yang kami beri nama Imah Tentrem (Rumah Damai), terdiri dari sekelompok relawan yang merupakan peserta aktif program Desa Damai dan beroperasi dengan dukungan dari aparat desa setempat. Saat kami berkumpul, kami berbagi tantangan yang kami hadapi dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan saran dan dukungan moril dari anggota lain. Saya mengundang tetangga saya yang berasal dari keturunan Tionghoa untuk bergabung dan terlibat dalam kegiatan kami. Bersama-sama, kami berhasil menyelesaikan berbagai masalah melalui kolaborasi dengan para pemimpin desa.

ITWO_Lilis_2
Aneng dalam diskusi dengan rekannya dari Desa Damai. Photo: UN Women/Inggita Notosusanto

Saat ini, salah satu tantangan terbesar di komunitas kami adalah konflik kekerasan di antara para pelajar. Saya percaya kami dapat mengatasi masalah ini dengan memperkuat praktik deteksi dini sambil terus mendukung para pemimpin desa dalam patroli dan upaya intervensi mereka.

Ke depannya, saya berharap kami dapat memperluas kegiatan kami hingga ke tingkat RW (Rukun Warga), menyebarkan prinsip dan praktik program Desa Damai ke desa-desa tetangga.

Desa Damai (Peace Village) adalah program yang diinisiasi oleh UN Women bekerja sama dengan Wahid Foundation di Jawa Barat sejak 2017 dan diperpanjang hingga 2024 dengan dukungan dari Pemerintah Belanda. Dilaksanakan di 2 kelurahan di Depok dan 1 desa di Bogor, Jawa Barat, program ini berfokus pada pemberdayaan perempuan dan pembangunan perdamaian untuk mengatasi konflik yang terjadi di masyarakat.

Kerja-kerja Aneng Sugiyarti berkontribusi pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 5 tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan anak perempuan, serta TPB 16 yang mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif.