In the words of Nuryati: We advocate for survivors of domestic abuse

Date:

Interview by Inggita Notosusanto

Photo: UN Women/Inggita Notosusanto
Nuryati is a participant in the Peace Village program in Depok, West Java, Indonesia. Photo: UN Women/Inggita Notosusanto

English | Bahasa Indonesia

Nuryati, 45, is a mother of three and a native of Pengasinan, Depok, West Java, in Indonesia. She participates in the Desa Damai (Peace Village) program, an initiative by the Wahid Foundation supported by UN Women and the Government of the Netherlands. She has been actively involved in the Wahid Foundation’s capacity-building program for peace activists since 2017. Through this program, she has been motivated to lead one of the working groups, helping her community address domestic abuse cases by reporting them to local authorities through the TRC (Tim Respon Cepat or “Fast Responder Team”). 

In our community, people used to be distrustful of those who were different, particularly in how they practiced their faith. This often led to reactive behaviors that would escalate into conflicts. However, after the Desa Damai program was introduced, we began to recognize and understand the kinds of provocative messages that incite conflict. We’ve learned to pause and think before resorting to force as a reaction. 

I am deeply grateful to be part of this program. I was entrusted with leading a pokja (working group), and within its Tim Respon Cepat (TRC), I collaborated with other volunteers to ensure that domestic violence reports in our community received attention and assistance from the authorities. We also supported and advocated for the survivors. When they seek help, we accompany them through the processes because it’s daunting to go through that alone.

ITWO Nuryati_2
Nuryati, the leader of the working group of Peace Village, Depok, in a discussion with her colleagues. Photo: UN Women/Inggita Notosusanto

Since joining the Desa Damai program, my confidence has grown significantly. The program taught us important life skills, like public speaking, and I now feel comfortable addressing an audience. I even picked up leadership positions in community initiatives. Even at home, I have transformed from a shy housewife into someone who speaks her mind and contributed to our household decision-making. I’ve also noticed that other members of the Peace Team have experienced similar transformations after participating in this program. 

The Desa Damai program has already contributed to promoting peace and harmony in our community, but it is a process that we need to keep working on. For example, violent conflicts also emerged around schools. I learned from my youngest son that the problems surrounding youth — such as alcohol and drug use —are on the rise and will lead to more student fights if these issues are unaddressed. I feel compelled to take action as another way to build peace in our community, perhaps by speaking to students at junior high schools in my area of Pengasinan. 

My wish is for the Desa Damai program to be adopted by the government because I believe it is an excellent initiative that can bring lasting benefits to our community.

The Desa Damai (Peace Village) is a program led by UN Women in partnership with the Wahid Foundation in West Java since 2017, and extended until 2024, supported by the Government of the Netherlands. Implemented in villages in Depok and Bogor, West Java, the program focuses on women’s empowerment and peacebuilding to address conflicts that occur in the communities. 

Nuryati’s work contributes to Sustainable Development Goal (SDG) 5 on gender equality and the empowerment of all women and girls, and SDG 16, which promotes peaceful and inclusive societies.

 

Curahan Hati Nuryati: Kami membela penyintas kekerasan dalam rumah tangga

Tanggal: Selasa, 10 Desember 2024

Interview oleh: Inggita Notosusanto

Photo: UN Women/Inggita Notosusanto
Nuryati adalah seorang peserta program Desa Damai di Depok, Jawa Barat, Indonesia. Photo: UN Women/Inggita Notosusanto

English | Bahasa Indonesia

Nuryati, 45 tahun, adalah seorang ibu dari tiga anak dan merupakan penduduk asli Pengasinan, Depok, Jawa Barat, Indonesia. Ia berpartisipasi dalam program Desa Damai, sebuah inisiatif dari Wahid Foundation yang didukung oleh UN Women, dan saat ini didukung oleh Pemerintah Belanda. Sejak 2017, Nuryati aktif terlibat dalam program pengembangan kapasitas bagi aktivis perdamaian yang digagas Wahid Foundation. Melalui program ini, ia termotivasi untuk memimpin salah satu kelompok kerja (pokja), membantu komunitasnya menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan melaporkannya kepada pihak berwenang melalui TRC (Tim Respon Cepat).

Di komunitas kami, orang-orang dulunya sering tidak percaya pada mereka yang berbeda, terutama terkait cara mereka menjalankan keyakinannya. Hal ini sering memicu perilaku reaktif yang berujung pada konflik. Namun, setelah program Desa Damai diperkenalkan, kami mulai mengenali dan memahami jenis-jenis pesan provokatif yang dapat memicu konflik. Kami belajar untuk berhenti sejenak dan berpikir sebelum bereaksi dengan kekerasan.

Saya sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari program ini. Saya dipercaya untuk memimpin sebuah pokja, dan dalam Tim Respon Cepat (TRC)-nya, saya bekerja sama dengan relawan lainnya untuk memastikan bahwa laporan kekerasan dalam rumah tangga di komunitas kami mendapatkan perhatian dan bantuan dari pihak berwenang. Kami juga mendukung dan mendampingi para penyintas. Ketika mereka membutuhkan bantuan, kami menemani mereka karena prosesnya cukup membuat mereka cemas jika harus dilalui sendirian.

ITWO Nuryati_2
Nuryati, pemimpin kelompok kerja Desa Damai di Depok, dalam diskusi dengan rekan-rekannya. Foto: UN Women/Inggita Notosusanto

Sejak bergabung dalam program Desa Damai, rasa percaya diri saya tumbuh pesat. Program ini mengajarkan kami keterampilan hidup yang berguna, seperti berbicara di depan umum, dan sekarang saya merasa nyaman berbicara di depan orang banyak. Saya bahkan menjadi pemimpin dalam prakarsa di komunitas. Bahkan di rumah, saya telah berubah dari seorang ibu rumah tangga yang pemalu menjadi seseorang yang berani menyuarakan pendapatnya dan berkontribusi dalam pengambilan keputusan di keluarga. Saya juga melihat bahwa anggota lain dari Kelompok Kerja Desa Damai mengalami perubahan serupa setelah berpartisipasi dalam program ini.

Program Desa Damai sudah berkontribusi dalam mempromosikan perdamaian dan harmoni di komunitas kami, tetapi ini adalah proses yang perlu terus kami lakukan. Sebagai contoh, konflik kekerasan muncul di sekitar sekolah. Saya mendengar dari anak bungsu saya bahwa masalah- masalah di kalangan pemuda — seperti penggunaan alkohol dan narkoba — semakin meningkat dan akan memicu lebih banyak perkelahian antar siswa jika tidak ditangani. Saya merasa terpanggil untuk mengambil tindakan sebagai cara untuk membangun perdamaian di komunitas kami, mungkin dengan berbicara kepada siswa di sekolah menengah pertama di wilayah Pengasinan. Keinginan saya adalah agar program Desa Damai dijadikan program pemerintah karena saya melihat ini sangat baik dan memberikan manfaat jangka panjang bagi komunitas kami.

Desa Damai (Peace Village) adalah program yang diinisiasi oleh UN Women bekerja sama dengan Wahid Foundation di Jawa Barat sejak 2017 dan diperpanjang hingga 2024 dengan dukungan dari Pemerintah Belanda. Dilaksanakan di desa-desa di Depok dan Bogor, Jawa Barat, program ini berfokus pada pemberdayaan perempuan dan pembangunan perdamaian untuk mengatasi konflik yang terjadi di masyarakat.

Kerja-kerja Nuryati berkontribusi pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 5 tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan anak perempuan, serta TPB 16 yang mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif.