From Where I Stand: “I learned that women have a unique capability to build peace”

Date:

Interviewed by Inggita Notosusanto

FWIS Erita
Erita Ibrahim is a social facilitator in Bima Regency, West Nusa Tenggara, Indonesia. Photo: UN Women/Inggita Notosusanto

English | Bahasa Indonesia

Erita Ibrahim, 41, is a mother of three and a native of Dadibou village, Bima Regency, West Nusa Tenggara in Indonesia. She works as Bima’s social facilitator under the Ministry of Social Affairs. Recently, she has taken on another role: peace activist. Since joining the Kampo Mahawo (“Peace Village”) program—an initiative by La Rimpu and the Wahid Foundation supported by UN Women and the Government of the Netherlands —in early 2024, Erita has been motivated to bring an end to the violent conflicts involving her village and its neighbors. Her efforts began with the creation of a “peace video” aimed at engaging those in conflict and key stakeholders. She also initiated two social groups—one for women and one for youth—to strengthen peacebuilding efforts. Erita now serves as the Kampo Mahawo village coordinator of facilitators. 

For the longest time, violent conflicts have occurred between our village, Dadibou, and the neighboring village, Penapali. These conflicts worsened due to the involvement of youth under the influence of drugs. Imagine sitting in a classroom, learning about peacebuilding and women leadership, while a fight breaks out just outside between the two villages. 

I had sleepless nights thinking about it. I knew we had to act. The men involved in these fights share the same tribal roots, yet ego had consumed everybody, including the village leaders—and even their wives, who blamed one another rather than promoting peace. 

Then, I saw a video of young people singing a song about peace, and I felt a spark of hope. I asked our facilitator to help us produce a “peace video” in the local Bima language. This video was widely shared by villagers in the area, especially the youth. Beyond our expectations, it went viral. People started to talk about it, and the possibility of peace. Soon after, just before Idul Fitri (the Islamic holidays), the two villages agreed to a peace pact—an islah (truce). Thank God, the pact is still honored to this day, and there have been no more fights between our village and our neighbors. 

The video’s success encouraged village leaders, religious leaders, and youth leaders to reach out to me whenever conflicts started brewing. They would text me: “Women, it’s time to spread your peace messages.” I realized that what we did had a real impact on keeping peace in our community. 

Following the peace pact, I initiated two social groups: Matupa, a women’s group advocating for social causes and ensuring that women’s voices are heard in strategic village decision-making, and Majelis Shalawat, a youth group focused on harnessing creativity to produce content and music promoting peace. 

I learned through the program that women have a unique capability to build peace. However, many women in our village had grown apathetic due to a lifetime of witnessing violence in their community. Inviting them to participate in peace advocacy was not easy. Whenever I met women in Dadibou, I encouraged them to join Kampo Mahawo. “There will be training to improve our skills and opportunities to meet new people,” I told them. 

I’ve also learned effective communication skills, enabling me to voice our aspirations to village leaders. Now, people actively seek our input, waiting for us—the women—to share our opinions. 

Our village has the advantage of being at the center of the district government. I hope for its success—it would be a shame to let it slip into becoming a wasteland of conflict. This hope motivates me to keep going. 

The WISE Initiative or Kampo Mahawo (Peace Village) is a Bima-based program led by UN Women in partnership with the Wahid Foundation and La Rimpu, supported by the Government of the Netherlands. Implemented in five villages in Bima, the program focuses on women’s empowerment and peacebuilding to address conflicts between these communities.

Erita Ibrahim’s work contributes to Sustainable Development Goal (SDG) 5 on gender equality and the empowerment of all women and girls, and SDG 16, which promotes peaceful and inclusive societies. 

 

Pendapat Saya: “Saya belajar bahwa Perempuan memiliki kemampuan unik untuk membangun perdamaian”

Tanggal: Kamis, 26 November 2024

Interview oleh: Inggita Notosusanto

FWIS Erita
Erita Ibrahim adalah seorang fasilitator sosial dari Bima, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Photo: UN Women/Inggita Notosusanto

English | Bahasa Indonesia

Erita Ibrahim, 41 tahun, adalah seorang ibu dari tiga anak dan berasal dari Desa Dadibou, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Ia adalah seorang fasilitator sosial Bima di bawah Kementerian Sosial. Baru-baru ini, ia memiliki peran baru: aktivis perdamaian. Sejak bergabung dalam program Kampo Mahawo (“Desa Damai”)—sebuah inisiatif dari Wahid Foundation bekerjasama dengan La Rimpu yang didukung oleh UN Women dan Pemerintah Belanda—di awal tahun 2024, Erita termotivasi untuk mengakhiri konflik kekerasan yang melibatkan desanya dan desa-desa tetangga. Usahanya dimulai dengan membuat "video perdamaian" yang bertujuan melibatkan pihak-pihak yang berkonflik dan pemangku kepentingan utama. Ia juga mendirikan dua kelompok sosial—satu untuk perempuan dan satu untuk pemuda—untuk memperkuat upaya membangun perdamaian. Saat ini, Erita menjabat sebagai koordinator fasilitator desa Kampo Mahawo.

Selama bertahun-tahun, konflik kekerasan terjadi antara desa kami, Dadibou, dan desa tetangga, Penapali. Konflik ini semakin memburuk karena keterlibatan pemuda yang berada di bawah pengaruh narkoba. Bayangkan, saat berada di ruang kelas, belajar tentang cara membangun perdamaian serta kepemimpinan perempuan, sementara perkelahian pecah di luar kelas antara kedua desa.

Malamnya saya tidak bisa tidur memikirkan hal ini. Saya tahu kami harus bertindak. Pria-pria yang terlibat dalam perkelahian ini berasal dari suku yang sama, tetapi ego telah menguasai semua orang, termasuk para pemimpin desa—bahkan istri mereka, yang saling menyalahkan, bukannya mendorong perdamaian.

Kemudian, saya melihat sebuah video tentang anak-anak muda yang menyanyikan lagu tentang perdamaian, dan saya merasakan secercah harapan. Saya meminta fasilitator kami untuk membantu kami membuat "video perdamaian" dalam bahasa lokal, Bima. Video ini dengan cepat menyebar di kalangan warga desa, terutama anak muda. Video ini menjadi viral, melampaui harapan kami. Orang-orang mulai membicarakannya dan membayangkan kemungkinan membangun perdamaian. Tak lama kemudian, menjelang Idul Fitri, kedua desa sepakat untuk membuat perjanjian damai—islah (menghentikan pertikaian). Alhamdulillah, perjanjian ini masih dipegang teguh hingga hari ini, dan tidak ada lagi perkelahian antara desa kami dan desa tetangga. Keberhasilan video ini mendorong para pemimpin desa, tokoh agama, dan pemimpin pemuda untuk menghubungi saya setiap kali konflik mulai muncul. Mereka akan mengirim pesan kepada saya: “Para perempuan, saatnya menyebarkan pesan perdamaianmu.” Saya menyadari bahwa apa yang kami lakukan memiliki dampak nyata dalam memperkuat perdamaian di komunitas kami. Setelah perjanjian damai, saya mendirikan dua kelompok sosial: Matupa, sebuah kelompok perempuan yang mengadvokasi isu-isu sosial dan memastikan suara perempuan didengar dalam pengambilan keputusan strategis desa, dan Majelis Shalawat, sebuah kelompok pemuda yang fokus pada kreativitas untuk menghasilkan konten dan musik yang mempromosikan perdamaian. Melalui program ini, saya belajar bahwa perempuan memiliki kemampuan unik untuk membangun perdamaian. Namun, banyak perempuan di desa kami yang apatis akibat menyaksikan kekerasan sepanjang hidup mereka di sini. Mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam advokasi perdamaian bukanlah hal yang mudah. Setiap kali saya bertemu dengan perempuan di Dadibou, saya mendorong mereka untuk bergabung dengan Kampo Mahawo. “Akan ada pelatihan untuk meningkatkan keterampilan kita dan kesempatan mendapat kenalan baru,” saya katakan kepada mereka.

Berkat program ini, saya belajar bagaimana mengadvokasi isu-isu sosial di komunitas kami. Saya juga belajar keterampilan komunikasi yang efektif, memungkinkan saya menyampaikan aspirasi kami kepada para pemimpin desa. Sekarang, orang-orang secara aktif mencari masukan kami, menunggu kami—para perempuan—untuk menyampaikan pendapat kami. Desa kami beruntung karena berada di pusat pemerintahan kabupaten. Saya berharap desa ini sukses—sungguh sayang jika sampai menjadi lahan konflik yang tak berkesudahan. Harapan inilah yang memotivasi saya untuk terus melangkah.

Inisiatif WISE atau Kampo Mahawo (Desa Damai) adalah program di Bima yang dipimpin oleh UN Women bekerja sama dengan Wahid Foundation dan La Rimpu, didukung oleh Pemerintah Belanda. Dilaksanakan di lima desa di Bima, program ini berfokus pada pemberdayaan perempuan dan pembangunan perdamaian untuk mengatasi konflik antar komunitas ini.

Langkah Erita Ibrahim berkontribusi pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 5 tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan semua perempuan dan anak perempuan, serta SDG 16 yang mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif.