Pendapat Saya: “Saya belajar bahwa Perempuan memiliki kemampuan unik untuk membangun perdamaian”
Tanggal: Kamis, 26 November 2024
Interview oleh: Inggita Notosusanto

Erita Ibrahim, 41 tahun, adalah seorang ibu dari tiga anak dan berasal dari Desa Dadibou, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Ia adalah seorang fasilitator sosial Bima di bawah Kementerian Sosial. Baru-baru ini, ia memiliki peran baru: aktivis perdamaian. Sejak bergabung dalam program Kampo Mahawo (“Desa Damai”)—sebuah inisiatif dari Wahid Foundation bekerjasama dengan La Rimpu yang didukung oleh UN Women dan Pemerintah Belanda—di awal tahun 2024, Erita termotivasi untuk mengakhiri konflik kekerasan yang melibatkan desanya dan desa-desa tetangga. Usahanya dimulai dengan membuat "video perdamaian" yang bertujuan melibatkan pihak-pihak yang berkonflik dan pemangku kepentingan utama. Ia juga mendirikan dua kelompok sosial—satu untuk perempuan dan satu untuk pemuda—untuk memperkuat upaya membangun perdamaian. Saat ini, Erita menjabat sebagai koordinator fasilitator desa Kampo Mahawo.
Selama bertahun-tahun, konflik kekerasan terjadi antara desa kami, Dadibou, dan desa tetangga, Penapali. Konflik ini semakin memburuk karena keterlibatan pemuda yang berada di bawah pengaruh narkoba. Bayangkan, saat berada di ruang kelas, belajar tentang cara membangun perdamaian serta kepemimpinan perempuan, sementara perkelahian pecah di luar kelas antara kedua desa.
Malamnya saya tidak bisa tidur memikirkan hal ini. Saya tahu kami harus bertindak. Pria-pria yang terlibat dalam perkelahian ini berasal dari suku yang sama, tetapi ego telah menguasai semua orang, termasuk para pemimpin desa—bahkan istri mereka, yang saling menyalahkan, bukannya mendorong perdamaian.
Kemudian, saya melihat sebuah video tentang anak-anak muda yang menyanyikan lagu tentang perdamaian, dan saya merasakan secercah harapan. Saya meminta fasilitator kami untuk membantu kami membuat "video perdamaian" dalam bahasa lokal, Bima. Video ini dengan cepat menyebar di kalangan warga desa, terutama anak muda. Video ini menjadi viral, melampaui harapan kami. Orang-orang mulai membicarakannya dan membayangkan kemungkinan membangun perdamaian. Tak lama kemudian, menjelang Idul Fitri, kedua desa sepakat untuk membuat perjanjian damai—islah (menghentikan pertikaian). Alhamdulillah, perjanjian ini masih dipegang teguh hingga hari ini, dan tidak ada lagi perkelahian antara desa kami dan desa tetangga. Keberhasilan video ini mendorong para pemimpin desa, tokoh agama, dan pemimpin pemuda untuk menghubungi saya setiap kali konflik mulai muncul. Mereka akan mengirim pesan kepada saya: “Para perempuan, saatnya menyebarkan pesan perdamaianmu.” Saya menyadari bahwa apa yang kami lakukan memiliki dampak nyata dalam memperkuat perdamaian di komunitas kami. Setelah perjanjian damai, saya mendirikan dua kelompok sosial: Matupa, sebuah kelompok perempuan yang mengadvokasi isu-isu sosial dan memastikan suara perempuan didengar dalam pengambilan keputusan strategis desa, dan Majelis Shalawat, sebuah kelompok pemuda yang fokus pada kreativitas untuk menghasilkan konten dan musik yang mempromosikan perdamaian. Melalui program ini, saya belajar bahwa perempuan memiliki kemampuan unik untuk membangun perdamaian. Namun, banyak perempuan di desa kami yang apatis akibat menyaksikan kekerasan sepanjang hidup mereka di sini. Mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam advokasi perdamaian bukanlah hal yang mudah. Setiap kali saya bertemu dengan perempuan di Dadibou, saya mendorong mereka untuk bergabung dengan Kampo Mahawo. “Akan ada pelatihan untuk meningkatkan keterampilan kita dan kesempatan mendapat kenalan baru,” saya katakan kepada mereka.
Berkat program ini, saya belajar bagaimana mengadvokasi isu-isu sosial di komunitas kami. Saya juga belajar keterampilan komunikasi yang efektif, memungkinkan saya menyampaikan aspirasi kami kepada para pemimpin desa. Sekarang, orang-orang secara aktif mencari masukan kami, menunggu kami—para perempuan—untuk menyampaikan pendapat kami. Desa kami beruntung karena berada di pusat pemerintahan kabupaten. Saya berharap desa ini sukses—sungguh sayang jika sampai menjadi lahan konflik yang tak berkesudahan. Harapan inilah yang memotivasi saya untuk terus melangkah.
Inisiatif WISE atau Kampo Mahawo (Desa Damai) adalah program di Bima yang dipimpin oleh UN Women bekerja sama dengan Wahid Foundation dan La Rimpu, didukung oleh Pemerintah Belanda. Dilaksanakan di lima desa di Bima, program ini berfokus pada pemberdayaan perempuan dan pembangunan perdamaian untuk mengatasi konflik antar komunitas ini.
Langkah Erita Ibrahim berkontribusi pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 5 tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan semua perempuan dan anak perempuan, serta SDG 16 yang mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif.